IBUKU
SEORANG PEMBOHONG
Memang sulit bagi seseorang untuk percaya, akan tetapi itulah kenyataannya,
Ibu saya memang seorang pembohong!!!!. Sepanjang ingatan saya,
sedikitnya lima kali Ibu membohongi saya. Semua kebohongan ibu itu saya catat baik-baik agar dapat menjadi bahan renungan semua anak yang terlahir di bumi.
Kisah ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga yang
sangat miskin. Makan dan minum serba kekurangandan kami sering kelaparan. Sebagai anak terkecil saya sering merajuk. Saya sering menangis untuk mendapatkan nasi dan lauk yang
lebih banyak. Dan Ibu senantiasa membujuk saya agar diam dengan membagikan sebagian nasinya untuk saya seraya berkata, “Makanlah nak, Ibu tidak lapar.”Inilah kebohongan Ibu yang pertama.
Ketika saya mulai besar, Ibu sering meluangkan waktu untuk pergi memancing di
sungai dekat rumah. Ibu berharap, ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami adik beradik. Pulang dari memancing, Ibu memasak gulai ikan yang
segar dan mengundang selera. Kami kakak beradik menyantap masakan ibu itu dengan lahap,
sedangkan ibu duduk memandang kami. Dengan wajah yang
menyiratkan kebahagiaan, ibu memakan sisa daging yang masih menempel ditulang. Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati yang
tersentuh lalu dengan menggunakan sendok, saya memberikan ikan yang saya miliki kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya sembari berkata, “Makanlah nak, ibu tidak suka makan ikan. ”Inilah kebohongan ibu
yang kedua.
Ketika saya masih SMA, ibu pergi ke warung dengan sejumlah sapu lidi dan kue kue kecil untuk membiayai sekolah kami. Suatu malam lebih kurang pukul 01.00
dini hari saya terjaga dari tidur. Saya melihat ibu sedang sibuk membuat kue dengan disinari sedikit lampu dihadapannya beberapa kali
sayamelihatkepalaibumenganggukkarenamengantuk.Sayaberkata, “Bu…tidurlah besok pagi ibu juga masih harus pergi ke kebun. ”Ibupun tersenyum dan berkata,
“Tidurlah nak, ibu belum mengantuk. ”Inilah kebohongan ibu yang
ketiga.
Beberapa bulan setelah saya dilahirkan,
ayah saya meninggal karena sakit. Semenjak saat itu ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah di dalam keluarga kami.Ibu bekerja di
kebun, membuat sapu lidi dan menjual kue kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu, kehidupan keluarga kami
semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang bapak yang
baik hati dan tinggal bersebelahan dengan rumah kami dating untuk membantu ibu. Anehnya, ibu selalu menolak bantuan itu. Para tetangga sering sekali menasehati ibu supaya menikah lagi supaya ada seorang lelaki yang
akan melindungi dan mencarikan nafkah untuk keluarga kami. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak terpengaruh dengan nasehat mereka. Ibu berkata, “Saya tidak perlukan cinta dan saya tidak memerlukan laki laki. ”Inilah kebohongan ibu yang keempat.
Setelah kakak kuliah dan bekerja, maka ibupun sudah mulai tua. Kakak menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah,
tidak lagi bersusah payah mencari uang. Tetapi ibu tidak mau, setiap pagi ibu tetap pergi kepasar menjual sedikit sayuran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakak yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkanuang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, tetapi ibupun tetap berkeras hati untuk tidak mau menerima uang tersebut.
Bahkan ibu mengirim balik uang itu dan berkata, “Jangan susah ibu ada duit. ”Inilah kebohongan ibu
yang kelima.
Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Saya sudah melanjutkan perguruan tinggi dan bekerja di
luar negri. Suatu malam saya menerima kabar bahwa ibu diserang penyakit kanker. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada di luar negri langsung pulang untuk melihat ibu di rumah sakit. Saya melihat ibu lemah terbaring di
kasur karena telah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman,
biarpun sedikit kaku karena menahan rasa sakit yang menjalari setiap bagian tubuhnya. Saya dapat melihat dengan jelas betapa dasyatnya penyakit itu telah tertanam di
tubuh ibu sehingga ibu menjadi terlalu kurus dan lemah. Saya menatap wajah ibu sambil berlinang air mata. Saya cium tangannya, kemudian saya kecup pula
pipi dan dahinya. Disaat itu hati saya terlalu pedih, sakit sekali melihat ibu dalam keadaan seperti itu. Tetapi ibu tetap tersenyum dan berkata, “Jangan menangis nak, ibu tidak sakit. ” Inilah kebohongan ibu
yang terakhir.
Setelah mengucapkan kebohongan itu, Ibundaku tercinta meninggal dunia dan menutup mata untuk selama-lamanya. Bagi Anda yang masih mempunyai ibu dan ayah,
bersyukurlah. Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau ibu Anda jauh dari mata, Anda boleh menelponnya sekarang dan berkata, “Ibu saya sangat menyanyangimu. ”Jangan seperti saya…. Saya dihantui rasa bersalah yang sangat besar karena sekalipun saya tidak pernah membisikkan
kata kataitu ketelinga ibu, hingga akhirnya ibuku tercinta menghembuskan nafas terakhirnya.
Oleh: UstadzNaufal(Novel) Bin Muhammad
Al- ‘Aidarus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar